BANDUNG - Kemerdekaan, umumnya berkaitan erat dengan penjajahan, namun, ada pula kemerdekaan atas kebebasan dari perbudakan. Itu telah terjadi sekian abad yang lalu, di banyak negara bangsa dunia.
Pun, ada kemerdekaan atas kebebasan, penindasan. Itu terjadi sejak dulu hingga kini, masih saja berlangsung. Orang pintar menyebut, “bentuk penjajahan baru”.
Dulu menjajah, berubah menjadi investor, yang pada titik tertentu, ikut menentukan arah bangsa. Walau telah merdeka sekalipun, penindasan tetap saja terjadi atas bangsa, yang kuat terhadap yang lemah. Banyak bentuk penindasan, Ekonomi, Politik, Agama, Sosial-Budaya, dan lain sebagainya.
Di awal, alangkah gegap gempita, menyuarakan kemerdekaannya. “Merdeka bung, Allahuakbar, ” pekiknya ketika melewati sekelompok anak muda baqda shalat jumat di masjid-masjid pada hari kemerdekaan 17 agustus 1945. Kelompok itu pun secara serempak tak kalah heroiknya membalas dengan. “Merdeka bung, Allahuakbar.
Suara itu menggelegar seantro bumi nusantara. Itu yang ditulis dalam buku-buku sejarah loakan yang dijual di Pasar Senen Jakarta. Buku itu, kini telah pudar termakan usia, yang kini tak lagi dilirik anak muda zaman now tuk membacanya. Mereka tak paham sejarah bangsanya sendiri karena memang tak diajarkan lagi di sekolahnya.
Sesuatu yang telah diperjuangkan oleh kakek nenek mereka, dulu hingga rela mati berkorban dalam pertempuran. Tak terhitung jumlahnya, atau dapat dilihat pada “Makam pahlawan, ” tersebar hampir diseluruh nusantara. Mereka berjuang hidup-mati untuk tegaknya republik ini.
Baca juga:
Atasi Antrean, Pertamina Siapkan SPBU Mobile
|
Panglima besar Sudirman, misalnya, kemudian menjadi Panglima Angkatan Bersenjata pertama. Beliau juga seorang ulama menggunakan jas dingin hingga lutut di malam hari, mengerahkan santrinya melawan penjajah. Itu terjadi hampir se-antero Nusantara karena memang kala itu didominasi oleh banyak kesultanan islam, bertempur melawan penjajah.
Dasar penjajah, tetap saja pintar, menggunakan senjata modern, yang dilawannya bambu runcing, “Tak seimbang lah”, kata anak sekarang. Itu pun dengan cara licik mengadu domba antar-rakyat Nusantara. Sibuk dibuatnya, tuk menyatukan kembali.
Bila dikalkulasikan, kemerdekaan itu sesuatu yang tak terduga. Semangat anak muda berinisiatif menjemput proklamator ke Rengas Dengklok Karawang pada 16 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengas Dengklok kemudian didesak pemuda, untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan kala di bulan Ramadhan, serba mendadak.
Melihat akan hal itu, wajar bersepakat, bangsa ini menyatakan kemerdekaan dibuka dengan kalimat, “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kalimat tersebut tersirat, atas pertolongan Allah yang maha kuasa menjadi dasar republik ini berdiri. Juga tersirat, berkehidupan kebangsaan yang bebas. Makna yang dapat dipertanyakan kini, dalam perayaan kemerdekaan.
Kemerdekaan, tak boleh dilepas dibiarkan begitu saja, pada yang memimpin harus dijaga bersamaoleh seluruh rakyat Indonesia yang berkewajiban untuk mengantarkan sesuai dengan tujuan bangsa, pada pembukaan UUD 45 dan Pancasila untuk mencapai masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah tujuh puluh tujuh tahun berlalu sepertinya masih saja jauh panggang dari api. Apa yang salah, atau siapa yang disalahkan. Das-sollen berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan untuk dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rayat (pasal 33, ayat 3 UUD 45).
Tapi das-seinnya tak sejalan, bahkan mungkin telah digadaikan pada pihak asing atau siapapun itu. Sehingga tak menetes pada mulut rakyat. Angka kemiskinan, tetap saja meningkat. Pernah, salah seorang pendiri bangsa ini berpesan, “Biarkan nanti, cucu-cucu kita akan mengolahnya untuk kemakmuran mereka.”
Jangan biarkan pula republik ini, seperti yang pernah disampaikan salah satu capres pilpres 2019. Ia merujuk pada sebuah buku”Ghost Fleet”. ditulis oleh Peter Warren Singer, 48 tahun yang lalu, Ahli pada New America Foundation yang banyak mendapat sejumlah penghargaan atas buku-buku yang ditulisnya, berpengaruh dalam isu-isu pertahanan. Dia dijuluki sebagai ilmuawan “gila” dalam tanda kutip untuk komando pelatihan dan doktrin Angkatan Darat Amerika.
Sedangkan, August Cole disebut sebagai seorang penulis futuris-analis mengeksplorasi masa depan konflik. Keduanya ahli strategi dan Amerika menggambarkan sebuah skenario perang antara RRC-China dengan Amerika tahun 2030 menyebabkan bubarnya nama Indonesia di tahun itu. Jangan, jangan biarkan itu terjadi! Pun jangan biarkan Republik ini condong ke kiri atau ke kanan, upayakan tegak lurus. Seperti, tiang bendera lurus menggantungkan bendera merah putih berkibar di atasnya.
Sedih rasanya, telah terjadi condong berliberal ria, ditandai pemilihan langsung, memilih pemimpin, tak lagi seperti amanat sila keempat Pancasila, Musyawarah-mufakat. Senandung itu tak terdengar lagi pada lembaga MPR di Senayan.
Memilih pemimpin. Kini, tuk menjadi pemimpin harus memiliki modal, bahkan besar, besar sekali, dari mana diperolehnya, ada yang berkata, ada sponsor oligarki.
Tahun politik, tahun membuat pencitraan. Baliho besar, terpampang wajah berbedak tebal. Setingan, tak terlihat isi otak sesungguhnya. Di bawa kemana Indonesiaku. Sulit rasanya pemimpin saat ini, sebagai pemimpin, yang membawa bangsanya bersikap politik bebas aktif, melaksanakan ketertiban dunia. Penuh pencitraan, misi perdamaian. Di balik perang Rusia - Ukraina yang berkepanjangan, berakibat pula persediaan gandum terbatas. Perlu, menyelamatkan produksi mie milik oligarki.
Selalu manis di media, bicara A, perbuatan B, sebuah catatan bahan demo BEM mahasiswa, beberapa waktu yang lalu. Sulit dipercaya, katanya tembak menembak yang terjadi mati CCTV. Ruwet jadinya tak nyambung.
Bandung, Agustus 2022
Eddy Syarif
Tukang Foto Keliling